Rabu, Desember 16, 2015

Berasa Tua

Malam kawan,

Ah...waktu, aku makin merasa tua.

Helai rambut putihku makin rimbun. Harus dicat hitam lagi ? Buat apa mengingkari waktu. Bagi yang mengerti, rambun memutih itu, punya nilai filosofis yang besar sekali. Apa ? Saat warna memutih, artinya, sudah waktunya meninggalkan dunia hitam, yang punya persepsi, jahat, nakal, ngawur, masuk menuju wilayah putih, yang sering digambarkan dengan sesuatu yang, baik, banyak pengalaman dan asosiasi kebaikan lainnya.

Ngomongin uban nih ? Hehehe.

Karena dikepala masih ada warna hitam, ngawur-ngawur sedikit ndak apa-apa ya.

Aktifitas menulis (walaupun sekarang hakikatnya mengetik), lebih lancar jika dilakukan pada malam hari. Kenapa begitu ? Karena disaat malamlah, jiwa-jiwa yang paham, membuka dirinya, dan melakukan aktifitas introspeksi. Terdengar agamis ? Ah...bukan. Belum level saya masuk wilayah cadas itu. Hehehe.

Malam, saat dimana jiwa bersedekap memeluk benak. Berbincang intim pada dirinya. Menilai waktu yang lewat, menentukan langkah kedepan. Malam, serasa mahal. Bagi jiwa yang paham.

Ah...waktu. Tak terasa anakku beranjak besar. Adik-adik sepupu mulai serentak menyebar undangan pernikahan. Ah...waktu. Lekas sekali kau pergi.

Serasa waktu tanak begitu cepatnya.

Tak sanggup aku meninjau waktu, karena itu bukan wilayahku.

Salam,
Widdi

Rabu, Oktober 28, 2015

Nah...yang pekok siapa ?

Pagi teman,

Rasanya sudah berabad lalu, kita berjumpa, bertukar salam, menyapa dalam tulisan. Ah...waktu berjalan cepat sekali. Laksana kereta Shinkansen atau Euro Train. Lebay sedikit tak apa ya :-))

Abad 21...seperti adanya saat ini, menyajikan banyak hal yang serba cepat. Cepat informasi, cepat perjalanan, cepat macet, cepat saji, cepat cerai...eh...intinya semua yang cepat, ditasbihkan untuk abad ini.

Aku tertarik untuk coba serius sedikit pada bahasan perihal informasi. Bukan mau sok tahu macam futurist Alvin Toffler atau maestro ekonomi macam Soemitro Djojohadikoesoemo, yang menarik dari keduanya, sudah memprediksi hal-hal penting dimasa depan, diantaranya sebagai abad teknologi dan informasi serta pertarungan perebutan sumber daya alam, selaku faktor utama, jika ingin diingat sejarah, sebagai pemenang.

Beragam informasi, dari mulai melek mata hingga menutup mata, bukan game over ya maksudnya, macam banjir bandang menerjang, mau informasi apapun pasti tersedia. Nah...logikanya jika banjir, mengandung unsur apa ? Mayoritas ? Ok...air...tapi untuk subyek tulisan ini, bukan itu....yup...kamu betul teman....sampahlah jawabannya.

Banjir informasi jelas juga mendatangkan sampah informasi. Dari yang mulai nama kerennya, Hoax...atau yang sedikit parah, menjurus arah fitnah. Dan, terus terang, aku menyaksikan banyaknya informasi yang masuk kategori ini. Dan, hebatnya lagi, informasi ini dengan santainya seliweran didepan mata kita dan yang meyebarkan berita itu, mungkin akan bangga dengan hasilnya.

Aku tidak akan memperpanjang dan menunjukkan, mana info yang benar dan mana yang KW. Silahkan nilai sendiri.

Satu subyek lain, yang cukup mengganggu, adalah hujatan serta kurangnya rasa memiliki dan kebanggaan pada tanah air republik ini. Bagaimana Indonesia mau mengejar kemajuan bangsa lain, jika masih banyak penghuni tanah ini yang mempunyai penilaian menganggap tanah pijakannya ini, lebih rendah dari bangsa lain ?

Kurang apa negeri ini memberi ? Udara yang dihirup, tanah yang dipijak, air yang dihisap setiap detiknya, nafkah mata pencaharian yang didapat, tapi, apa balasnya ? Jawabnya, PENGHINAAN.

Nah...kalau sudah begini yang pekok siapa ?

Negeri ini laksana Ibumu sendiri, Ia melahirkanmu, merawat, mendidik, mendewasakan, mencerahkan, tapi apa balasnya ? PENGKHIANATAN.

Nah...kalau sudah begini yang pekok siapa ?

Negeri ini masih banyak masalah, yup, itu betul sekali. Tapi jika respon setiap individu yang numpang hidup disini hanya mengeluh dan mengeluh, apakah bisa solusi itu datang ? Omong kosong.

Nah...pilihan tinggal mengeluh atau beraksi.

Salam,
Widdi