Boedoet - sepercik ingatan
Saat masuk ke Boedoet, sekolah ini berada pada titik terbawah, dalam hal prestasi.
Legenda Boedoet yang pernah aku dengar dari Bapakku, Oom, Tante, kakak sepupu, terasa menguap saat kaki melangkah masuk gerbang Boedoet.
Reputasi sebagai sebuah sekolah favorit para calon murid maupun orangtuanya, berkat beragam prestasi serta nama baik yang ditorehkan baik secara regional maupun nasional, pada saat aku masuk, terasa berlebihan.
Boedoet yang ada dibenakku, ternyata tidak sama dengan apa yang aku lihat nyata saat itu (1995). Torehan prestasi gemilang yang telah dituliskan oleh para pendahulu/kakak kelas, hanya bisa dilihat pada onggokan piala atau medali yang terkesan kusam, berdebu karena jarang dibersihkan.
Kondisi ini bisa dilihat jika, kita masuk ke ruang kepala sekolah atau ruang perpustakaan.
Di ruang perpustakaan, bahkan kondisi dari piala, plakat atau medali ini bahkan lebih mengenaskan. Ada piala yang terhempas jatuh ke lantai, teronggok dihimpitan lemari buku, berlumur debu.
Sebuah kondisi yang jelas, pada saat itu, menjungkir balikkan apa yang ada dibenakku, atas kejayaan prestasi yang telah ditulis dengan tinta emas oleh para pendahulu.
Boedoet tahun ’95, tidak ada lagi semangat perjuangan, loyo, kehilangan gairah, sesuatu hal yang jauh dikemudian hari, baru dapat aku bumikan dibenakku. Boedoet di tahun ’95, melanggengkan jalur kekerasan, tawuran antar pelajar setiap hari ( ini pasti, 3 kali sehari kayak minum obat dari dokter). Akibatnya siswa, setiap hari, berada dalam kondisi psikis tertekan, depresi, stress, efeknya sampai sekolah tidak ada lagi konsentrasi, energi hilang dijalan, antara mempertahankan diri atau terlukai.
Validitas data ini bisa dicek, dengan teman-teman yang lain, bahkan pada medio ’95 hingga ’98, frekuensi tawuran antar pelajar di Jakarta, bisa dibilang, menghiasi hampir seluruh media massa, baik cetak maupun televisi. Korban jatuh bergelimpangan, banyak yang tewas mati konyol ataupun mengalami cacat seumur hidup.
Dengan kondisi seperti itu, apa yang bisa diharapkan dari para siswa untuk sumbangsih pada nama besar Boedoet ?
Bahkan pada medio itu (‘95-‘98), nama Boedoet harus tercoreng akibat deraan kasus dugaan korupsi yang diduga dilakukan oleh Kepala Sekolah. Aku menghitung paling tidak ada 3 kali penggantian kepala sekolah saat itu (Pak Sudarno, Pak.............., aku lupa namanya, karena beliaupun hanya menjabat sekitar 3 Bulan, untuk kemudian digantikan oleh Pak Arifin).
Kasus, yang akhirnya membuat vakum kegiatan belajar mengajar hingga 2 Minggu (kalau tidak salah) waktu itu aku masih kelas 2. Hebatnya lagi, karena begitu seringnya kita demo, menuntut transparansi kasus itu, serta mundurnya Pak Kepsek, kasus ini juga yang menempatkan status Boeodet, di Majalah Hai, sebagai predikat “Sekolah Terdemo”.
Bukannya prestasi diujung pena, malah prestasi di lembaran kain atau kertas demo.
Kemunduran besar-besaran akan prestasi Boedoet, terjadi akibat pemberlakuan rayonisasi. Apakah benar begitu ? Bisa jadi. Karena di buku 50 tahun Emas Boeodoet (terbitan ’96), hal ini pernah disinggung didalam tulisan beberapa guru.
Berita akibat tawuran pelajar terutama yang melibatkan siswa Boeodoet, sudah lama tidak beredar di media cetak. Semoga ini bisa menjadikan awal yang baik, buka lembaran sejarah baru, buat tulisan dengan tinta emas, putus rantai kekerasan, Semoga juga menjadi modal dasar untuk Boedoet, mampu melangkah ringan ke depan, tanpa melupakan yang pahit demi mencapai kejayaan akademik selanjutnya.
Dirgahayu Boeodoet, Dirgahayu Sekolahku.
Salam,
Widdi (’98, 1-7, 2-5, 3 IPS 2)