Jumat, November 14, 2008

Apa esensimu ?



Hi Kawan,

Terlalu lama untuk tidak menulis, efeknya hasrat mengering, otak tambah tumpul, logika mandek, kalau sudah begini jadi teringat nasihat beberapa tahun silam dari mentorku.

Nasihatnya, “cobalah untuk bisa menulis setiap hari, walaupun Cuma satu kalimat”, aku Tanya, “Memang kenapa harus begitu”?, jawabnya “biar kamu tidak lupa esensi menjadi seorang manusia”

Waktu itu, aku tidak menanyakan lebih detail, apa maksudnya nasihat itu, mentorku pun bisa menangkap gelagat ketidakmengertian diriku, tapi makna itu tetap tersimpan rapat dibenak.

Mungkin dia pikir, biar aku sendiri saja, yang berusaha menafsirkan apa makna mendalam dari nasihat itu.

Ya Mas, pertanyaan itu masih berlaku hingga detik ini.

Apa esensi diriku ? Apa hanya untuk berfungsi mengumpulkan capital setiap harinya ?

Waktu bergulir dengan cepatnya.

Apa esensi dirimu Kawan ? Ayo...merenung sejenak....

Salam,
Widdi


Senin, April 14, 2008

Perihal Nama

Perihal Nama

Awalnya sih, gak terlalu aku pikir. Seorang teman, setelah bolak-balik halaman koran, kasih komen, “Jaman sekarang, kok, orang Indonesia, kasih nama ke anaknya, pake berbau barat segala”.

Kontan aku, jawab aja, “Apa di Indonesia masih banyak ketemu orang, yang bisa dijadikan panutan ?, Jika ada, mesti, para orangtuanya, memberikan nama, persis sama dengan orang besar tersebut.”. Contohnya mas, nama “Muhammad”, berapa juta orang di dunia ini yang pake nama tersebut, mengapa ?, karena nama “Muhammad” memang pantas untuk dijadikan panutan, atau bahasa Bekasi-nya “Role Model”.

Percakapan kecil yang hingga saat aku mengetikkan ini, masih terekam secara sempurna dibenakku.

Aku berpendapat, hasil pendidikan di Indonesia, saat ini, hanya mampu bergulir pada tahapan “Transfer of Knowledge” belum masuk pada fase “Transfer of Value”, karena prasyarat untuk bisa masuk ke fase “Transfer of Value”, harus ada orang yang dijadikan panutan/role model, entah cara bersikap, berpikir maupun bertindak.

Apakah di Indonesia, masa saat ini, mudah ditemukan “sosok ideal”, yang pantas dijadikan “panutan” ? Boleh jadi, jika seorang anak ditanya, “siapa acuan kamu dalam berpikir dan bertindak ? Jika jawabannya bukan anda, sebagai orangtuanya, janganlah kaget. Karena mungkin, saya atau anda, belum pantas untuk bisa menjadi “sosok ideal”, anak-anak masa depan Indonesia.

Salam,

Widdi

Senin, Maret 17, 2008

Boedoet - sepercik ingatan

Boedoet - sepercik ingatan

Saat masuk ke Boedoet, sekolah ini berada pada titik terbawah, dalam hal prestasi.

Legenda Boedoet yang pernah aku dengar dari Bapakku, Oom, Tante, kakak sepupu, terasa menguap saat kaki melangkah masuk gerbang Boedoet.

Reputasi sebagai sebuah sekolah favorit para calon murid maupun orangtuanya, berkat beragam prestasi serta nama baik yang ditorehkan baik secara regional maupun nasional, pada saat aku masuk, terasa berlebihan.

Boedoet yang ada dibenakku, ternyata tidak sama dengan apa yang aku lihat nyata saat itu (1995). Torehan prestasi gemilang yang telah dituliskan oleh para pendahulu/kakak kelas, hanya bisa dilihat pada onggokan piala atau medali yang terkesan kusam, berdebu karena jarang dibersihkan.

Kondisi ini bisa dilihat jika, kita masuk ke ruang kepala sekolah atau ruang perpustakaan.

Di ruang perpustakaan, bahkan kondisi dari piala, plakat atau medali ini bahkan lebih mengenaskan. Ada piala yang terhempas jatuh ke lantai, teronggok dihimpitan lemari buku, berlumur debu.

Sebuah kondisi yang jelas, pada saat itu, menjungkir balikkan apa yang ada dibenakku, atas kejayaan prestasi yang telah ditulis dengan tinta emas oleh para pendahulu.

Boedoet tahun ’95, tidak ada lagi semangat perjuangan, loyo, kehilangan gairah, sesuatu hal yang jauh dikemudian hari, baru dapat aku bumikan dibenakku. Boedoet di tahun ’95, melanggengkan jalur kekerasan, tawuran antar pelajar setiap hari ( ini pasti, 3 kali sehari kayak minum obat dari dokter). Akibatnya siswa, setiap hari, berada dalam kondisi psikis tertekan, depresi, stress, efeknya sampai sekolah tidak ada lagi konsentrasi, energi hilang dijalan, antara mempertahankan diri atau terlukai.

Validitas data ini bisa dicek, dengan teman-teman yang lain, bahkan pada medio ’95 hingga ’98, frekuensi tawuran antar pelajar di Jakarta, bisa dibilang, menghiasi hampir seluruh media massa, baik cetak maupun televisi. Korban jatuh bergelimpangan, banyak yang tewas mati konyol ataupun mengalami cacat seumur hidup.

Dengan kondisi seperti itu, apa yang bisa diharapkan dari para siswa untuk sumbangsih pada nama besar Boedoet ?

Bahkan pada medio itu (‘95-‘98), nama Boedoet harus tercoreng akibat deraan kasus dugaan korupsi yang diduga dilakukan oleh Kepala Sekolah. Aku menghitung paling tidak ada 3 kali penggantian kepala sekolah saat itu (Pak Sudarno, Pak.............., aku lupa namanya, karena beliaupun hanya menjabat sekitar 3 Bulan, untuk kemudian digantikan oleh Pak Arifin).

Kasus, yang akhirnya membuat vakum kegiatan belajar mengajar hingga 2 Minggu (kalau tidak salah) waktu itu aku masih kelas 2. Hebatnya lagi, karena begitu seringnya kita demo, menuntut transparansi kasus itu, serta mundurnya Pak Kepsek, kasus ini juga yang menempatkan status Boeodet, di Majalah Hai, sebagai predikat “Sekolah Terdemo”.

Bukannya prestasi diujung pena, malah prestasi di lembaran kain atau kertas demo.

Kemunduran besar-besaran akan prestasi Boedoet, terjadi akibat pemberlakuan rayonisasi. Apakah benar begitu ? Bisa jadi. Karena di buku 50 tahun Emas Boeodoet (terbitan ’96), hal ini pernah disinggung didalam tulisan beberapa guru.

Berita akibat tawuran pelajar terutama yang melibatkan siswa Boeodoet, sudah lama tidak beredar di media cetak. Semoga ini bisa menjadikan awal yang baik, buka lembaran sejarah baru, buat tulisan dengan tinta emas, putus rantai kekerasan, Semoga juga menjadi modal dasar untuk Boedoet, mampu melangkah ringan ke depan, tanpa melupakan yang pahit demi mencapai kejayaan akademik selanjutnya.

Dirgahayu Boeodoet, Dirgahayu Sekolahku.

Salam,

Widdi (’98, 1-7, 2-5, 3 IPS 2)

Jumat, Januari 18, 2008

Tahun Baru, Semangat Baru


Sore Kawan,

Selamat tahun baru 2008, mungkin terlambat, tapi tak apalah daripada tidak sama sekali. Maklum karena liburnya terlalu banyak, akibatnya beban pekerjaan jadi lebih berat.

Banyak PR yang mesti diselesaikan dulu. Jadi yah…. Waktu buat cuap-cuap diblog makin terpotong.

Pasti sudah ada pengharapan, estimasi, kalkulasi, rencana, untuk dientaskan di tahun baru ini. Yang penting ada target positif, yang bisa dicapai.

Buat Indonesia-ku, entah mengapa aku merasa engkau makin kacau, makin ditinggalkan”pendukungnya”, politisasi di kanan kiri, umbar janji atas bawah, wah…cape deh…..

Indonesia-ku, negeri tempe yang ditinggal pergi sama tempe-nya. Gila…..

Sorry kawan, bukan bermaksud untuk menciutkan nyali. Tapi inilah fakta kontemporer yang ada. Kadangkali bicara kebenaran bikin pening.

Jadi kawan, di tahun ini, berusahalah lebih keras, menyimak lebih jernih.

Salam,
Widdi